Minggu, 20 Juni 2010

RENDAHNYA KUALITAS DAN KUANTITAS KAPAS SEBAGAI BAHAN BAKU TEKSTIL INDONESIA

Tugas MK Ekonomi Pertanian (ESL 211)
Kelas Jumat

RENDAHNYA KUALITAS DAN KUANTITAS KAPAS SEBAGAI BAHAN BAKU TEKSTIL INDONESIA

Oleh :

1. Rizki Haerunissa A34080024
2. Prasasti D. Prameswani A34080031
3. Rita Yunita A34080033
4. Riska Dwi Octaviani A34080040
5. Aldila Rachmawati A34080070




Dosen :
1. Sutara Hendrakusumaatmadja
2. Hastuti


DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Rendahnya Kualitas dan Kuanitas Kapas Sebagai Bahan Baku Tekstil Indonesia” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perdagangan Pertanian di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, khususnya untuk dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Pertanian serta yang telah memberikan ilmunya dan membimbing selama satu semester ini. Penulis juga menguacapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Pepatah mengatakan “Tak Ada Gading yang Tak Retak”, dalam penulisan makalah ini mungkin masih banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun materi. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan bantuan dari para pembaca untuk memberikan saran dan kritik guna perbaikan penulisan selanjutnya.




Bogor, 12 Mei 2010


Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pertanian adalah suatu kegiatan manusia yang termasuk di dalamnya yaitu bercocok tanam, peternakan, perikanan dan kehutanan. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Indonesia adalah sebagai petani, sehingga sektor pertanian sangat penting untuk dikembangkan di negara kita. Kapas adalah serat halus yang menyelubungi biji beberapa jenis Gossypium berasal dari daerah tropika dan subtropika. Serat kapas menjadi bahan penting dalam industri tekstil. Serat kapas merupakan produk yang berharga karena hanya sekitar 10% dari berat kotor (bruto) produk hilang dalam pemrosesan. Apabila lemak, protein, malam (lilin), dan lain-lain residu disingkirkan, sisanya adalah polimer selulosa murni dan alami. Selulosa ini tersusun sedemikian rupa sehingga memberikan kapas kekuatan, daya tahan (durabilitas), dan daya serap yang unik namun disukai orang. Tekstil yang terbuat dari kapas (katun) bersifat menghangatkan di kala dingin dan menyejukkan di kala panas (menyerap keringat). Jadi pertanian kapas adalah kegiatan bercocok tanam manusia khusus untuk memproduksi hasil dari tanaman kapas.
Komoditi kapas dibutuhkan oleh setiap manusia secara umum sejak lahir hingga meninggal, tapi belum begitu besar dirindukan untuk diusaha-tanikan oleh petani-petani perkebunan di Indonesia. Komoditi tersebut pada potensi lahan tidak kurang dari 1,3 juta ha, hanya tertanami kapas terbatas dan termarginalisasi diatas lahan sekitar 12-13 ribu ha atau sekitar 1 % dari potensi lahan yang ada. Sebagian besar petani di Indoesia masih belum menyadari bahwa komoditi kapas memiliki banyak keistimewaan. Berbeda dengan komoditas lain, harga kapas tak pernah turun naik (fluktuatif) dan harga ditentukan langsung oleh pemerintah baik sebelum tanam hingga mencapai masa panen serta pasar serat kapas pun sudah jelas. Peluang pengembangan kapas masih terbuka, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.

Meski tekstil me¬nem¬pati posisi tertinggi dalam ekspor non-migas, namun Indonesia ma¬sih harus mengimpor hamper 100 persen ke¬butuhan kapasnya dari Negara lain. Indonesia merupakan pasar kapas Australia kedua se¬¬telah Cina yang 36 persen, porsi impor kapas Indonesia 24 persen dari pro¬duksi kapas Australia. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT )di dalam Indonesia berkembang cukup pesat, ditandai dengan meningkatnya industri pemintalan khususnya untuk serat pendek dari sekitar 6,1 juta spdl tahun 1991 menjadi sekitar 7,8 juta spdl pada saat ini, atau mengalami pertumbuhan sekitar 2 % per tahun.
Perkembangan industry tektik di Indonesia tentu harus diikuti dengan peningkatan pemenuhan kubutuhan bahan baku khususnya serat alam dari kapas. Kebutuhan serat kapas setiap tahunnya mengalami pertumbuhan sekita 3% per tahun atau dibutuhkan pasokan 500 ribu ton serat kapas. Sampai saat ini, produksi kapas didalam negeri hanya mampu berkontribusi dan dikembangkan petani hanya mampu memasok tidak lebih dari 0,5% kebutuhan industri tekstil dan produk tekstil (ITPT) nasional. Ini berarti Indonesia harus memenuhi kebutuhan kapas dalam negeri 99,5% sisanya harus dengan mengimpor yang menyedot devisa sekitar 600-650 juta USD. Kapas impor itu kebanyakan digunakan untuk industri tekstil, yang sebagian besar diekspor. Amat disayangkan kebutuhan TPT yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaan bahan baku dari dalam negeri. Di sisi lain, kebutuhan bahan baku serat alam, kapas, terus meningkat, rata-rata 3%/tahun.
Harga serat kapas dunia pun semakin meningkat. Hal ini terkait dengan ditetapkannya pencabutan subsidi ekspor kapas dari negara-negara produsen kapas sejak 2006, sesuai kesepakatan WTO di Hongkong pada Desember 2005.
Ditambah lagi pembatasan kuota oleh negara-negara produsen itu yang berdampak semakin terbatasnya volume serat kapas dunia bagi para pengimpor. Tentu saja kondisi ini kian mempersulit para industriawan tekstil lantaran kemampuan impornya semakin menurun. Sejumlah sektor industri berpotensi mengalami kesulitan pasokan bahan baku. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) akan kesulitan mendapatkan kapas.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui keadaan tekstil di Indonesia beserta sumberdaya alam kapasnya
2. Mengetahui keadaan dan kondisi SDM petani kapas Indonesia
3. Mengetahui peran pemerintah terhadap kualitas produksi kapas Indonesia
4. Mengetahui cara meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kapas
5. Mengetahui minat produsen tekstil untuk menggunakan bahan baku kapas dalam negeri.

1.3 Rumusan masalah
1. Bagaimana keadaan tekstil Indonesia dan bahan baku kapas?
2. Bagaimana keadaan dan kondisi SDM pertanian kapas Indonesia?
3. Apa peran pemerintah untuk menaikkan kuantitas dan kualitas produksi kapas di Indonesia?
4. Mengapa laju peningkatan produksi kapas di Indonesia terhambat?
5. Bagaimana potensi lahan pertanian Indonesia dan meningkatkan produksi kapas dalam negeri?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. SYARAT HIDUP TANAMAN KAPAS
A. Tanah
Tanaman kapas yang diusahakan secara komersial hendaknya ditanam di dataran rendah dan tidak melebihi dari 400 m di atas permukaan laut.Kapas menghendaki tanah yang subur,drainase baik,daya pegang air tinggi,serta memiliki pH tanah 6,7-7.

B. Iklim
Daerah dengan tipe iklim C, D, E dan F cocok untuk penanaman kapas ditegalan. Di samping itu, daerah yang memiliki curah hujan 600-800 mm selama 4 bulan pertumbuhan tanaman kapas atau 1200-1600 mm selama setahun, juga merupakan daerah yang sesuai untuk penanaman dan pengembangan kapas.

C. Air
Kebutuhan air akan meningkat setelah pembentukan kuncup bunga. Pada periode pemasakan buah, tanaman kapas banyak memerlukan air, sedangkan pada waktu panen di butuhkan keadaan yang kering. Kapas tidak dianjurkan ditanam di daerah dengan curah hujan selama 120 hari, lebih dari 1600 mm atau kurang dari 500 mm.







BAB III
PEMBAHASAN

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tekstil terbesar di dunia. Namun apabila ditelisik lebih dalam, bahan baku tekstil yaitu kapas masih banyak mengalami permasalahan yang begitu kompleks. Bagaimana tidak, bahan baku tekstil Indoesia selama ini masih sangat bergantung dari impor yang berasal dari Australia dan Selandia Baru. Indonesia merupakan pangsa pasar kapas utama kedua impor negara Australia. Sekitar 60% dari total produksi kapas negara kangguru ditujukan untuk Indonesia.

3.1 Produksi bahan baku kapas di Indonesia
Kapas merupakan salah satu komoditas baru yang menjanjikan dari Provinsi NTT. Kabupaten Sumba Timur telah mengembangkan tanaman kapas di atas lahan seluas 1.000 ha. Pemerintah akan kembali megembangkan perkebunan kapas dan kelapa yang sudah lama ditinggalkan. Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Ahmad Mangga Barani, mengatakan lahan kapas yang akan dikembangkan mencapai 20 ribu hektar dan 5000 hektar untuk lahan kelapa. Prospek komoditi ini ke depan akan bagus. Pengembangan areal perkebunan kapas itu akan diterapkan di tujuh provinsi dengan target produksi 1,5 ton per hektar. Produksi Kapas Indonesia saat ini masih sedikit, yaitu 5.000 ton per tahun. Jenis kapas yang ditanam di Sumba Timur adalah "kapas kenesia" yang produktif. Satu pohon bisa menghasilkan 150 bunga yang menghasilkan kapas kualitas terbaik. Kapas yang dihasilkan daerah ini memiliki serat yang sangat halus. Sehingga menjadi kapas terbaik tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia.
Indonesia masih mengimpor 99% dari sekitar 500.000 ton kebutuhan serat kapas nasional per tahun. Kapas impor itu kebanyakan digunakan untuk industri tekstil, yang sebagian besar diekspor. Indonesia harus meningkatkan produksi kapas dalam negeri jika tidak ingin selamanya bergantung pada impor, yang akan berdampak pada industri tekstil. Sebab, sampai saat ini ketergantungan Indonesia akan serat kapas impor sangat tinggi.
“Saat ini, upaya peningatan produksi kapas terus dilakukan. Petani tidak berminat menanam karena harga kapas di dalam negeri sangat rendah”, ucap Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Mangga Barani. Sejak 2006, Departemen Pertanian bekerja sama dengan Hubei mengembangkan benih kapas hibrida. Pada tahap awal, diimpor 40 ton benih kapas dari Tiongkok. Tahun 2009 ini, katanya, sudah dimulai penanaman secara komersial dan sekaligus melakukan alih teknologi. Areal tanam berada di Sulsel, Jatim, Jateng, DIY, Bali, NTT, dan NTB, masing-masing seluas 10 hektare (ha).
Jika penanaman ini berhasil maka diharapkan produksi kapas dalam negeri meningkat 5- 6 persen. Untuk meningkatkan minat petani menanam kapas, katanya, pemerintah memberi subsidi benih dan pupuk, serta mematok harga pembelian oleh pengusaha dari petani Rp 4.000 per kg. Selama ini, kapas dari petani hanya dihargai Rp 2.500 per kg.
Kebutuhan kapas nasional masih dipenuhi dari Amerika Serikat, Australia, Mesir, dan beberapa negara. Luas lahan tanaman kapas di Indonesia sekitar 400.000 ha, namun yang sudah ditanami baru 20.000 ha, terluas berada di Sulsel sekitar 7.500 ha. Produksi masih di bawah satu ton per ha, namun dengan benih hibrida diharapkan bisa mencapai empat ton.

3.2 Keadaan tekstil di Indonesia
Industri tekstil memiliki struktur industri yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir (up stream, mid stream, dan down stream) dan memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu industri dengan industri lainnya. Di tingkat hulu Indonesia memiliki industri serat yang terdiri dari industri serat alam, serat buatan dan benang filament dan industri pemintalan serta pencelupan (spinning). Di tingkat hilir, terdapat industri garmen yang jumlahnya mencapai 897 perusahaan pada 2006 dengan total kapasitas terpasang 754 ribu ton. Sekitar 88% dari hasil industri garmen diekspor ke luar negeri dan 12% untuk pasar domestik (www.bni.co.id).
Pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil selama lima tahun terakhir cenderung melambat. Melambatnya industri tekstil ini disebabkan munculnya banyak negara pesaing, seperti Vietnam, Bangladesh, Thailand dan Cina yang menggunakan teknologi baru. Masalah lain yaitu kurangnya optimalisasi utilisasi kapasitas terpasang dan terbatasnya kemampuan mesin dalam proses produksi. Sekitar 80% mesin-mesin di industri tekstil dan produk tekstil telah berusia lebih dari 20 tahun, ini mengakibatkan inefisiensi produksi. Selain itu, mesin yang tua berakibat pada terbatasnya melakukan diversifikasi produk dan peningkatan kualitas (www.tempointeraktif.com).
Meskipun tak putus didera masalah, hingga saat ini Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) Indonesia masih memainkan peran yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Pada 2006, industri ini memberikan kontribusi sebesar 11,7% terhadap total ekspor nasional, 20,2% terhadap surplus perdagangan nasional, dan 3,8% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sementara daya serap industri ini terhadap tenaga kerja juga cukup besar, mencapai 1,84 juta tenaga kerja (www.bni.co.id).
Hingga saat ini, industri TPT Indonesia menghadapi berbagai masalah. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah biaya energi yang mahal, infrastruktur pelabuhan yang belum kondusif, mesin-mesin pertekstilan yang sebagian besar sudah sangat tua, dan maraknya produk impor ilegal terutama dari China. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan Industri TPT Indonesia berjalan dengan kondisi yang kurang sehat. Biaya operasional menjadi relatif mahal, namun dengan produktivitas yang relatif rendah. Dengan kondisi yang cukup berat tersebut, produk TPT Indonesia masih berhasil mendapat tempat yang cukup baik di pasar luar negeri, bahkan memiliki daya saing yang cukup tinggi di pasar internasional. Ini terbukti dari cukup besarnya kontribusi devisa yang dihasilkan dari sektor ini dari tahun ke tahun maupun kontribusi Indonesia terhadap perdagangan TPT internasional dibanding negara-negara eksportir lainnya. Pada 2006 misalnya, devisa yang dihasilkan dari sub sektor TPT mencapai US$ 9,5 miliar (www.egismy.wordpress.com).
Salah satu permasalahan terbesar industri TPT Indonesia saat ini adalah usia mesin-mesin yang sudah sangat tua. Ini memang permasalahan klasik, namun belum terselesaikan hingga saat ini. Permasalahan lain yang cukup serius adalah maraknya tekstil impor ilegal yang masuk ke pasar domestik terutama dari China. Selain itu, biaya energi yang mahal merupakan permasalahan lain yang cukup mengganggu daya saing produk tekstil Indonesia. Disamping mahal, kebutuhan listrik juga belum mampu dipenuhi secara optimal oleh PLN. Untuk biaya tenaga kerja, Indonesia juga merupakan yang tertinggi diantara negara produsen lainnya. Bila negara Bangladesh dan Vietnam hanya membayar upah buruh sebesar US$ 0,35/ jam, Pakistan US$ 0,40/jam, India US$ 0,6/jam, Indonesia membayar lebih mahal yakni lebih dua kalinya Bangladesh dan Vietnam, yakni sebesar US$ 0,76/jam. Diluar itu, Indonesia masih dihadapi biaya pelabuhan yang cukup mahal, termahal kedua diantara negara-negara ASEAN setelah Singapura (www.bni.co.id/ ).
Kinerja ekspor industri TPT Indonesia sempat mengalami penurunan yang cukup signifikan pada 2003. Namun demikian, sejak 2004 kinerjanya terus mengalami kenaikan baik dari sisi volume maupun nilai ekspor.
Tabel 1. Perkembangan Ekspor TPT Indonesia

Tahun Volume (ribu kg) Value (ribu USD) Harga rata-rata (USD/kg)
2001 1,721,312 7,678,422 4.46
2002 1,758,675 6,888,559 3.92
2003 1,555,920 7,052,181 4.53
2004 1,626,461 7,647,441 4.70
2005 1,796,800 8,555,000 4.76
2006 1,877,400 9,376,000 4.99
Sumber : - BPS
- Asosiasi Pertekstilan Indonesia
Posisi dan daya saing tekstil Indonesia di pasar dunia cukup baik. Pada 2006, Indonesia merupakan pemasok keempat terbesar untuk pasar tekstil AS dengan kontribusi 4,18% (US$ 3,9 juta). Pemasok terbesar di AS adalah China (US$ 27,067 juta), Meksiko (US$ 6,378 juta), dan India (US$ 5,031juta). Posisi perdagangan TPT Indonesia di AS setiap tahunnya cenderung membaik. Peluang Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya di AS makin besar karena volume ekspor Indonesia tumbuh rata-rata 10,67% setiap tahunnya, lebih besar dibanding pertumbuhan volume impor AS yang hanya 10% (www.bni.co.id/\).
Untuk produk serat, Indonesia merupakan produsen ketujuh terbesar dunia dengan kontribusi 10% terhadap total pasok dunia. Untuk pakaian jadi, Indonesia berada di posisi sembilan besar. Posisi Indonesia di posisi ini masih cukup kuat terutama karena kemampuannya dalam memenuhi kualifikasi produk yang diinginkan buyer luar negeri. Disamping ekspor tersebut, namun terdapat permasalahan lain yang dihadapi Indonesia saat ini yaitu ekspor teksil Indonesia yang cukup besar tersebut ternyata bahan bakunya masih tetap impor dari negara lain. Meskipun bahan baku mentah pembuatan tekstil di Indonesia seperti kapas misalnya termasuk salah satu Sumber Daya Alam yang melimpah bagi Indonesia, namun kualitasnya masih jauh jika dibandingkan Negara-negara luar. Itulah sebabnya produsen tekstil Indonesia lebih memilih impor bahan baku tekstil yang telah diolah dengan teknologi yang lebih maju dari luar negeri yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan produksi dalam negeri sendiri.
Upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi ini (melalui restrukturisasi mesin) mulai gencar dilakukan dalam setahun terakhir. Faktor lain yang akan menjadi ganjalan upaya peningkatan pangsa pasar industri tekstil Indonesia adalah biaya energi dan biaya buruh yang mahal. Disamping mahal, suplai energi dari PLN belum mampu memenuhi kebutuhan industri TPT secara maksimal. Saat ini PLN masih berupaya meningkatkan kapasitas energinya dari baru bara dan gas. Demikian juga dengan kebijakan sistem perburuhan yang hingga saat ini dirasakan masih kurang berpihak kepada dunia usaha. Selanjutnya adalah illegal textile import. Aksi yang sangat menganggu ini sudah sedemikian rupa sehingga telah menyedot pangsa pasar tekstil domestik hingga 50 persen. Dengan biaya produksi yang jauh lebih murah ditambah biaya operasional yang rendah pula adalah sulit bagi industri tekstil nasional bersaing dengan produk China. Karena itu, diperlukan langkah-langkah yang serius dari pemerintah untuk mencegah dan meminimalisir masuknya tekstil impor legal ke Indonesia. Dengan restrukturisasi mesin-mesin dan iklim dunia usaha yang lebih kondusif (sistem perburuhan, biaya energi yang murah dan cukup tersedia) peningkatan pangsa pasar TPT Indonesia di dalam maupun luar negeri bukan lagi suatu yang mustahil untuk dicapai (http://bbt.depperin.go.id).
Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) industri tekstil yang mencapai 66 persen mengindikasikan kekuatan industri ini telah mapan.
3.3. Kondisi Pertanian Kapas di Indonesia
Peningkatan harga kapas dunia ini mendorong pengusaha tekstil nasional beralih ke kapas produksi dalam negeri yang volume produksinya masih rendah. Meskipun mempunyai banyak kendala dalam pengembangannya, tetapi hal ini membuka peluang bagi pengembangan kapas dalam negeri. Kendala tersebut antara lain: 1) iklim, dengan distribusi hujan setiap tahunnya tidak merata, 2)areal penanaman kapas menurun, 3) kesulitan dalam permodalan, 4) transfer dan adopsi teknologi oleh petani masih rendah menyebabkan pengusahaan kurang intensif, produktivitas dan mutu serat kapas relatif rendah.
Unsur-unsur iklim yang berpengaruh dalam pengusahaan kapas adalah curah hujan, suhu udara, radiasi surya, kelembapan, dan kecepatan angin. Faktor curah hujan merupakan unsur iklim yang paling menentukan, karena curahannya fluktuatif menurut waktu dan tempat. Curah hujan yang tidak menentu merupakan salah satu kendala penanaman kapas di lahan kering yang sering menimbulkan masalah kekurangan atau kelebihan air pada suatu periode tertentu (Riajaya, 2002). Iklim dan cuaca berpengaruh langsung terhadap kualitas dan kuantitas saat panen kapas. Lahan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman kapas adalah mempunyai iklim dengan curah hujan antara 1.000 1.750 mm/ tahun, bulan kering (kurang dari 100 mm) antara 3 4 bulan (Djaenudin et al., 1997). Menurut Riajaya (2002), untuk meningkatkan produktivitas kapas perlu penyesuaian agronomi terhadap penyimpangan iklim. Penyesuaian sistem usaha tani dengan sifat iklim dan cuaca dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: 1) Penyesuaian waktu tanam, saat terjadi kekeringan yang panjang, waktu tanam dilakukan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai tambahan air irigasi; 2) Pengaturan kerapatan tanaman, untuk mengurangi evaporasi pada kondisi kekeringan; 3) Penyesuaian waktu dan dosis pemupukan, jika ketersedian air berkurang, maka dosis pupuk dikurangi karena tingkat serapannya tergantung dari ketersediaan air di dalam tanah. Sebaliknya, jika curah hujan yang tinggi menyebabkan limpasan air sehingga tingkat pencucian hara juga meningkat. Pada kondisi ini pemberian pupuk nitrogen dilakukan bertahap dan penggunaan pupuk cair lebih efektif; 4) Perbaikan drainase, dilakukan untuk mengatasi limpasan akibat curah hujan yang tinggi; dan 5) Pemilihan jenis tanaman. Apabila jatuhnya awal musim hujan mundur sampai awal Februari (terutama di Pulau Jawa), sebaiknya tidak menanam kapas dan digantikan dengan tanaman lain yang lebih tahan terhadap kekeringan.
Rendahnya produksi kapas juga disebabkan karena area penanaman kapas menurun. Penurunan areal pengembangan ini karena terdesak tanaman pangan yang mempunyai nilai ekonomis lebih tinggi, serta adanya sistem pewarisan dan alih fungsi lahan pertanian ke sektor lain. Sampai saat ini, petani masih mengutamakan penggunaan lahannya untuk ditanami tanaman pangan baik secara monokultur maupun tumpang sari dengan alasan food security . Kapas hanya diusahakan secara tumpang sari atau tumpang sisip sebagai tanaman pelengkap bukan tanaman utama. Pengusahaan kapas secara intensif dilakukan setelah tanaman utama dipanen, dimana intensitas hujan sudah berkurang. Kondisi ini mengakibatkan diperlukannya pengairan ekstra untuk mempertahankan produktivitas.
Selain itu, penguasaan teknologi petani dalam budi daya kapas juga berpengaruh terhadap produktivitas kapas. Produktivitas di tingkat petani sekitar 480 sampai 520 kg/ha, sedangkan hasil penelitian sekitar 1,5 2,8 ton/ha (Sahid dan Wahyuni., 2001). Diperkirakan teknologi yang tersedia baru dapat diadopsi oleh petani sekitar 30% (Haryono et al., 1989). Sedangkan faktor yang lain adalah kemampuan petani yang terbatas dan pemikiran yang sederhana, tidak tepatnya sarana produksi sampai ke tingkat petani, pembinaan petani yang kurang intensif, dan koordinasi instansi terkait yang belum terpadu (Soebandrijo et al., 1989). Tidak semua teknologi yang dihasilkan Balai Penelitian mampu diadopsi oleh petani. Hal ini menyebabkan pengusahaan kapas kurang intensif, dan mutu serat kapas yang dihasilkan tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan oleh pengelola, sehingga tingkat produksi dan harga jual sangat rendah. Tingkat pendidikan petani kooperator yang bervariasi, mengakibatkan perbedaan tingkat penyerapan informasi teknologi. Kelompok kooperator yang dihadapi kebanyakan adalah kelompok pemula dimana kerja sama dalam kelompok masih kurang. Selain itu terjadi kesenjangan teknologi di tingkat petani yang mengakibatkan produktivitas petani menurun lagi setelah pendampingan selesai.
Pendampingan teknologi dalam pola OFR (on farm research) maupun pengelolaan tanaman terpadu (PTT) terbukti mampu meningkatkan produktivitas di tingkat petani (Basuki et al., 2001). OFR di tiap lokasi melibatkan petani kooperator yang jumlahnya terbatas, sekitar 20 90 orang/lokasi.
Komponen teknologi yang mendesak untuk disediakan adalah: benih bermutu, efisiensi tenaga kerja dalam teknik pengolahan tanah dan penyiangan, serta peralatan-peratalan mekanis untuk budi daya kapas. Kurangnya modal dan tenaga kerja di pedesaan adalah faktor pembatas pertama dalam penerapan teknologi oleh petani (Sahid dan Wahyuni, 2001). Untuk dapat menerapkan teknologi secara optimal, diperlukan sarana produksi dan tenaga kerja yang bernilai rata-rata Rp1.748.500,00/ha untuk lahan kering, dan Rp2.363.700,00/ha untuk lahan sawah. Jumlah tersebut sulit dipenuhi dengan terbatasnya kredit oleh IKR (intensifikasi kapas rakyat). . Data dari kegiatan OFR maupun IKR menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja luar keluarga sebesar 73% dan dari dalam keluarga sebesar 27% (Basuki et al., 2001). Tetapi melihat kenyataan saat ini bahwa lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang ada, maka terdapat suatu peluang untuk menyerap tenaga kerja dalam pengusahaan dan pengembangan kapas nasional.
Intensitas pelaksanaan usahatani kapas sangat dipengaruhi oleh sifat usahatani kapas, status pemilikan lahan, rata-rata luas lahan, serta jenis lahan yang digunakan. Usahatani kapas sebagai usaha utama dengan status sebagai petani pemilik penggarap, dan rata-rata luas pengusahaan yang cukup serta ditanam pada lahan sawah cenderung lebih intensif sehingga dapat meningkatkan produktivitas.Usahatani kapas di seluruh daerah penelitian pada tahun 1993 menguntungkan, terlihat dari pendapatan dan R/C yang bernilai positif dan lebih dari satu.Namun demikian, pada tahun 1994, pendapatan dan R/C usahatani mengalami penurunan akibat terjadinya kekeringan yang cukup serius pada tahun tersebut. Bahkan untuk daerah Jawa Timur dan NTB, usahatani kapas (1994) mengalami kerugian (pendapatan negatif dan R/C kurang dari satu). Hal ini menunjukkan penyimpangan iklim (curah hujan) merupakan kendala utama dalam pengembangan usahatani kapas dibandingkan dengan kendala lainnya yang juga cukup serius seperti hama dan penyakit, rendahnya mutu benih dan teknologi berproduksi serta animo masyarakat. Semua hal tersebut secara akumulatif menunjukkan bahwa resiko usahatani kapas begitu tinggi. Struktur pasar kapas berbiji bersifta monopsoni , yaitu dijual ke perusahaan pengolah tertentu, sedangkan struktur pasar serat kapasbersifat oligopsoni, kecuali di NTB bersifat monopsoni. Harga kapas berbiji yang diterima petani dalam setiap propinsi yang sama adalah seragam berdasarkan hasil musyawarah diantara instansi pemerintah dan swasta terkait serta petani yang ditetapkan setiap tahun melalui SK Gubernur.
memaklumi jika impor kapas masih tinggi. Sebab, kondisi cuaca Indonesia yang tidak mendukung budidaya kapas. impor kapas dari Australia tidak dikenai bea masuk, sehingga biaya produksi bisa kompetitif. Lagipula, komponen kapas (serat) dalam industri tekstil hanya sebesar 38 persen, sisanya dan terbesar berasal dari man made fiber yang berupa rayon dan poliester
3.4 Peran kelembagaan dan pemerintah terhadap produksi kapas
Pada Kabinet Indonesia bersatu lalu telah ditetapkan program pembangunan dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) berazas pro-growth , pro-employment , dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor, (2) pembenahan sektor riil yang mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan (Deptan, 2006). Sesuai dengan tujuannya untuk mengentas kemiskinan di pedesaan salah satunya dengan cara pengembangan tanaman kapas sebagai salah satu pendekatan dalam revitalisasi di sektor pertanian. Revitalisasi pengembangan tanaman kapas dilakukan, melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan kebijakan pemerintah. Melalui intensifikasi antara lain dilakukan penanaman kapas varietas unggul yang toleran terhadap hama, tanam tepat waktu, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanah dan tanaman kapas, pelaksanaan program PHT, pengaturan tata tanam dan sistem tanam yang tepat. Upaya menyukseskan program revitalisasi adalah pengadaan benih kapas bermutu, karena selama ini terkesan bahwa pengembangan kapas menggunakan benih seadanya. Pengembangan kapas melalui ekstensifikasi adalah dengan perluasan areal, pada lahan yang sesuai.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberi dukungan dalam pengembangan kapas seperti berupa kebijakan harga kapas, pemberian subsidi (benih, pupuk, pestisida) untuk meringankan biaya usaha tani kapas bagi petani, pembaruan sistem penyuluhan yang kurang lancar selama pelaksanaan otonomi daerah, penyuluhan petani melalui Sekolah Lapangan PHT (SL-PHT). Penyuluhan petani melalui SL-PHT ini terbukti sangat efektif dalam memperbahatui penerapan teknologi bagi petani kapas di Bone, Sulawesi Selatan (Soebandrijo et al., 2000). Dukungan kebijakan pemerintah tersebut diharapkan dapat mengembalikan gairah petani untuk menanam kapas sehingga lebih berkembang. Dari rencana-rencana maupun upaya yang sudah dilakukan pemerintah terhadap pengembangan petani kapas, masih banyak hal-hal yang menghambat perencanaan serta realisasi upaya tersebut secara optimal. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah yang sanagt serius dalam mendongkrak swasembada pangan dengan memberikan subsidi harga pupuk, pestisida, dan benih. Namun, upaya-upaya pemerintah terhadap sektor pangan ini tidak begitu terlihat dalam pengembangan kapas. Padahal kasus antara kebutuhan pangan dan serat kapas sama-sama penting, karena devisa negara yang keluar untuk pembelian serat kapas sangat besar yaitu sekitar 500.000 ton serat atau sebesar 99,9% dari kebutuhan serat nasional untuk industri tekstil.
Mutu benih juga menjadi kendala dalam pengembangan kapas, meskipun benih yang digunakan dalam pengembangan kapas saat ini relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang menggunakan benih kabu-kabu. Akan tetapi penyempurnaan masih perlu dilakukan, khususnya dalam pengadaan benih berjenjang mulai dari benih dasar sampai benih sebar. Dengan mempertimbangkan rencana Ditjenbun pada tahun 2010 ini areal kapas sekitar 71.000 ha, berarti benih sebar yang dibutuhkan sekitar 426.000 kg (6 kg/ha). Masalah ini masih perlu perhatian Khusus, karena untuk memenuhi benih sebar sebanyak 426.000 kg diperlukan sarana pendukung meliputi jumlah mesin delinter, lantai jemur, gudang, dan tenaga kerja yang terampil. Hubungan dan kerja sama antarinstansi terkait juga sangat menentukan keberhasilan program pengembangan kapas. Instansi yang terkait dalam pengembangan kapas meliputi Balittas, pemerintah daerah, instansi perkebunan dari pusat sampai daerah, dan pengelola. Namun struktur organisasi dinas dan penyuluh yang bervariasi antarkabupaten menyebabkan respon yang berbeda terhadap upaya tersebut.
Dinas/Subdinas Perkebunan sebagai pemegang mandat program pengembangan kapas, tidak selalu melibatkan tenaga penyuluh dalam kegiatan lapang. Hal ini terjadi karena dinas/subdinas mempunyai tenaga teknis yang dianggap lebih mampu dan menguasai dalam pendampingan teknologi bagi petani. Di lain pihak, penugasan penyuluh berdasarkan wilayah binaan menyebabkan pendampingan yang di luar bidang keahliannya kurang diprioritaskan dan hasilnya kurang efektif. Pengelola sebagai mitra kerja dari petani dalam program pengembangan kapas juga masih sangat pasif karena keterbatasan tenaga, dan hanya berfungsi sebagai penyedia pupuk, benih dan pembeli kapas berbiji saja. Kegiatan penyuluhan dan pendampingan teknologi yang dilakukan oleh instansi di daerah pun sangat minim, dengan alasan keterbatasan sarana dan biaya operasional. Hali in sangat mengkhawatirkan karena pengelola merupakan instansi yang memanfaatkan hasil tersebut.
Tidak ada salahnya dalam merevitalisasi pengembangan kapas saat ini, pemerintah menata kembali jejaring kerja yaitu melibatkan kembali BUMN yang pernah menangani kapas bersama- sama dengan pengelola swasta dalam pengembangan kapas. Petani kapas juga memerlukan tenaga setingkat teknisi yang menetap di lapang sebagai partner petani, dan pendampingan penerapan teknologi melalui kunjungan lapang secara reguler yang dilaksanan mulai persiapan tanam sampai panen oleh peneliti/penyuluh diperlukan dalam pengembangan kapas. Tujuan pendampingan teknologi adalah untuk memonitor penerapan teknologi oleh petani. Selain itu dalam kegiatan tersebut diberikan petunjuk tentang penerapan teknologi budi daya kapas yang benar, sesuai dengan baku teknis.
Keberadaan Lembaga kelompok tani kapas sudah lama terbentuk, Namun kelompok tani tersebut masih belum berfungsi secara optimal. Secara organisasi sudah terbentuk tetapi yang berfungsi hanya ketuanya saja, itupun terbatas pada pendaftaran CP/CL, pendistribusian, mengoordinir anggotanya dalam penimbangan kapas berbiji, pembelian, dan pelunasan kredit. Ke depan diharapkan dilakukan pemberdayaan kelompok tidak saja dalam penguasaan teknologi budidaya kapas, tetapi juga penyempurnaan organisasi yaitu pembagian tugas antarpengurus.
Area pengusahaan tanaman kapas semakin lama semakin menurun. Sekitar sepuluh tahun yang lalu pengusahaan kapas tersebar di 5 provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara (Sumartini dan Hasnam, 2001), tetapi tahun ini menyempit hanya 4 provinsi, yaitu : Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan. Industri tekstil sebagian besar berada di Pulau Jawa, dan hanya sebagian kecil yang bermitra dengan petani kapas. Kelembagaan penunjang dalam bentuk kemitraan diperlukan untuk mempertemukan kepentingan antara industri tekstil dengan petani kapas. Kelembagaan ini meliputi kelembagaan kelompok tani, penyuluh, maupun permodalan, yang membantu petani mulai dari pendampingan teknologi budi daya, penyediaan kredit produksi maupun pembelian hasil. Secara konseptual, kemitraan mengandung makna adanya kerja sama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan. Kemitraan dalam pengembangan kapas ini mempertemukan kepentingan petani, pengelola atau swasta, dan pemerintah. Kelembagaan pengawas diperlukan untuk mengawasi jalannya kemitraan dari pemerintah dan pengusaha sehingga tidak merugikan kaum petani. Pihak pemerintah dapat berfungsi sebagai pengawas dan perantara jalannya proses kemitraan antara pengusaha dan petani, walaupun dalam kenyataannya lembaga pengawas ini sulit didapatkan (Pranadji, 2003). Menurut Basuki (2003) transfer teknologi budi daya lebih efektif jika melalui pola kemitraan. Untuk mempercepat transfer teknologi budi daya, kelembagaan kelompok tani dibagi menjadi subsub kelompok tani mandiri dengan mengoptimalkan peran ketua kelompok dalam hal transfer teknologi budi daya melalui peran sosialnya. Hal ini akan menimbulkan kompetisi antar sub-sub kelompok dalam hal kecepatan adopsi teknologi budi daya, peningkatan produktivitas, serta pendapatan. Keberhasilan rekayasa sosial ini sangat dipengaruhi oleh dukungan dari pengelola atau industri tekstil yang bersangkutan. Tantangan pengembangan kemitraan agribisnis diperkirakan akan membawa berbagai implikasi bagi perkembangan pertanian di Indonesia, khususnya kapas. Pengembangan kemitraan melalui kelembagaan penyuluh, permodalan petani, dan pengawas menghasilkan beberapa peluang, antara lain: 1) peningkatan volume pasar kapas dalam negeri karena adanya peningkatan areal dan produksi kapas yang diakibatkan oleh kemitraan tersebut, 2) harga jual kapas lebih kompetitif karena adanya peningkatan pendapatan petani apabila mitra usahanya mendapatkan peningkatan keuntungan jika adanya transparansi, 3) harga sarana produksi lebih terjangkau oleh petani, 4) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berefek penghematan biaya dan peningkatan produktivitas, 5) modal investasi lebih mudah didapatkan, 6) peningkatan efisiensi akibat dari relokasi sumber daya dan dorongan persaingan.

3.5 Terhambatnya laju peningkatan produksi kapas di Indonesia
Usaha tani kapas memang tidak mudah walaupun Umur tanaman pendek hanya 4 bulan, tapi tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kapas cukup kopleks. Ketersediaan benih bermutu, kelangkaan modal petani, masih rendahnya produktivitas, efisiensi biaya produksi, dan isu penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Usaha tani kapas sangat tergantung kepada lingkungan dan musim. Untuk pengembangan tanaman kapas dibutuhkan tanah dan curah hujan yang cocok agar hasil yang diperoleh bisa optimal. Curah hujan yang dikehendaki adalah 600 hingga 1.600 mm selama empat bulan masa pertumbuhan tanaman. Tanah harus subur, drainase baik, daya pegang air tinggi, pH tanah asam sampai netral dengan pH optimal 5,5.
Beberapa kendala dapat dikatakan menghambat laju peningkatan produksi kapas di dalam negeri, terutama : Pertama ditingkat petani, tanaman kapas umumnya tidak menjadi komoditi prioritas untuk diusahakan karena dinilai tidak menguntungkan, kalaupun ada biasanya ditanam di lahan-lahan marjinal yang ketersediaan airnya sangat terbatas dan dengan pola tumpangsari dengan komoditi pangan. Kedua ditingkat konsumen kapas yaitu pelaku ITPT, dari sekitar 2.600 unit usaha dibidang ITPT hanya sekitar 0,2 – 0,3 % yang bersedia secara aktif bermitra dengan petani di on farm seperti PT. Nusafarm Intiland Corp, PR. Sukun Kudus, PT. Sulawesi Cotton Industry, PT. New Asia Mandiri, PT. Ade Agro Industri. Pada umumnya ITPT cenderung untuk menggunakan serat kapas impor karena selain tersedia tepat waktu (jumlah, waktu dan mutu), juga harganya lebih murah. Perusahaan mitra yang ada tersebut biasanya menetapkan harga pembelian berdasarkan harga kapas dipasar internasional yang lebih rendah daripada HPP Kapas lokal. Ketiga ditingkat Risbang, kompetensinya ada pada Badan Litbang Pertanian di Balittas Malang. Lembaga ini berfungsi sebagai penghasil teknologi di bidang serat-seratan (termasuk kapas), baik di hulu yang menghasilkan jenis/varietas kapas unggul (pemuliaan), maupun intermediate yaitu teknologi budidaya kapas (on-farm) serta teknologi pasca panen hingga menghasilkan serat kapas siap pintal . Balittas telah menghasilkan seri varietas Kanesia (Kanesia-1 s.d Kanesia-15) dengan potensi produksi tertinggi ditingkat pengujian tidak kurang dari 3,9 ton kapas berbiji per ha (Kanesia-14). Teknologi Kanesia tersebut diarahkan untuk mengatasi kendala-kendala di lapangan yang terjadi selama ini (tahan kekeringan, tahan hama/penyakit, umur genjah, kesesuaian untuk tumpang sari, mutu serat tinggi), namun pada tingkat implementasi (pengembangan ditingkat petani), hanya mampu menghasilkan produksi rata-rata tidak lebih dari 500 kg kapas berbiji per ha eq 167 kg serat kapas, atau hanya sekitar 12,7 % dari potensi teknologi itu sendiri. Hal ini berarti teknologi Kanesia masih jauh dibawah teknologi kapas yang dihasilkan oleh negara-negara produsen kapas seperti transgenik (AS) atau Hybrida (China) yang dapat menghasailkan produksi tidak kurang 4 ton kapas berbiji per ha ditingkat pengembangan. Selain dihulu, Balittas Malang juga telah menghasilkan teknologi diintermediatenya berupa rakitan teknologi pengembangan kapas bersama-sama dengan jagung/palawija (Tumpangsari), yang kemudian menjadi kebijakan teknis Ditjen Perkebunan dan telah dituangkan dalam Buku Standar, Norma, Pedoman dan Prosedur (SNPKP) Budidaya Kapas Edisi Tahun 2007. (http://media perkebunan.com)
Pemerintah berharap musim tahun ini cukup bersahabat, sehingga tidak mengganggu produktivitas tanaman. Untuk budidaya komoditas kapas harus memenuhi dua persyaratan utama, yaitu daerah dengan iklim kemarau dan hujan yang tegas, serta sistem pengairan yang teratur. Sebab, jika hujan turun saat panen, kualitas dan produksi kapas akan jatuh. Faktor lain yang membantu peningkatan produksi adalah ketersediaan benih harus tepat waktu. Dengan penggunaan varietas unggul lokal Kanesia 7 dan Kanesia 8 diharapkan produktivitas naik menjadi 1,25 ton/ha, sedangkan produktivitas kapas hibrida bisa mencapai 2 ton/ha di tingkat petani.
Harga serat kapas dunia pun semakin meningkat Hal ini terkait dengan ditetapkannya pencabutan subsidi ekspor kapas dari negara-negara produsen kapas sejak 2006, sesuai kesepakatan WTO di Hongkong pada Desember 2005. Ditambah lagi pembatasan kuota oleh negara-negara produsen itu yang berdampak semakin terbatasnya volume serat kapas dunia bagi para pengimpor. Tentu saja kondisi ini kian mempersulit para industriawan tekstil lantaran kemampuan impornya semakin menurun. Harapannya dengan adanya motivasi persainagan komoditi kapas di dunia dapat meningkatkan minat para petrani kapas lokal untuk memfokuskan pertanian mereka ke komoditas kapas.
3.6 Potensi lahan pertanian kapas dan usaha peningkatan produksi kapas di Indonesia
Kelangsungan industri tekstil di Indonesia masih sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku kapas yang 99,5% dipenuhi dengan impor. Telah dibahas sebelumnya bahwa pengimporan kapas dari luar negeri dikarenakan produksi kapas dalam negeri yang belum sanggup memenuhi permintaan industri tekstil yang membutuhkan sekitar 500 ribu ton kapas untuk setiap tahunnya. Meskipun produksi kapas nasional masih sangat terbatas, namun budidaya kapas telah mengalami kemajuan. Pada 2005, produksi kapas per hektare hanya sebanyak 1,2 ton. Namun, tahun ini, bisa mencapai 4,6 ton per hektare.(bisnis.vivanews.com)
Permasalahan rendahnya produktivitas lahan pertanian kapas adalah belum dapat mengoptimalisasi penggunaan lahan yang potensial untuk pengembangan komoditi kapas. Pemerintah berupaya meningkatkan produksi kapas nasional melalui pengembangan di daerah potensial, sehingga impor bisa dikurangi. Luas lahan tanaman kapas di Indonesia sekitar 400.000 ha, namun yang sudah ditanami baru 20.000 ha, terluas berada di Sulsel sekitar 7.500 ha. Produksi masih di bawah satu ton per ha, namun dengan benih hibrida diharapkan bisa mencapai empat ton. NTB dengan spesifikasi lahan kering cukup luas, menjadikan daerah ini potensial untuk budidaya komoditas yang satu ini. Di tahun 2010 ini luas areal budi daya mencapai 800 hektar. Jumlah luas tanam itu akan terus bertambah hingga mencapai 2.500 hektar hingga tahun 2014 mendatang. Angka luas tanam tahun ini meningkat hampir dua kali lipat dari realisasi areal tanam tahun 2009 yang mencapai 450 hektar. Hasil penelitian Puslit Tanah dan Agroklimat, potensi lahan untuk pengembangan kapas tersedia 1,3 juta hektar, yang tersebar di Jateng, Yogyakarta, Jatim, Bali, NTB, NTT, dan Sulsel.
Pada tahap awal Indonesia mengimpor sebanyak 40 ton benih kapas dari Hubei Provincial Seed Group dari RRC yang akan ditanam di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, Bali, NTT dan NTB masing masing setiap propinsi seluas 10 hektare. Luas lahan kapas yang ada sekarang seluas 400.000 hektar tetapi dari luas tersebut yang sudah tertanam seluas 20.000 hektar, yang terluas di Sulawesi Selatan seluas 7.500 hektar.
Seperti maslah potensi lahan yang belum tergali sepenuhnya, penigkatan produksi kapas dalam negeri tidak dapat lepas dari peran pemerintah saat ini . Pemerintah terus mengupayakan peningkatan produksi kapas nasional. Selama ini petani tidak berminat untuk menanam kapas karena harga kapas dalam negeri masih sangat rendah. Usaha peningkatan minat petani tidak jauh akan perhatian pemerintah yang harus menanggapi serius masalah pertanian kapas di Indonesia. Usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan minat petani menanam kapas salah satunya memberi subsidi benih dan pupuk. Pemerintah mematok harga pembelian oleh pengusaha dari petani Rp 4.000 per kg. Selama ini, kapas dari petani hanya dihargai Rp 2.500 per kg (Achmad Mangga Barani Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, 2009). Dengan patokan harga ini diharapkan dapat meningkatkan minat petani untuk menanam kapas, sebab rendahnya minat petani menanam kapas terjadi karena harga kapas di pasaran masih rendah. Hal ini berbeda dengan kebijakan di RRC yang menetapkan bahwa harga kapas sangat tinggi, sama dengan harga jagung dan beras dan petani kapas di Cina diberi subsidi oleh pemerintahnya. Dengan penetapan patokan harga kapas yang tinggi dari Dirjen Pertanian sebenarnya dapat mengangkat ekonomi petani budidaya komoditas kapas. Kapas dapat dikatakan komoditas yang istimewa karena jika dibandingkan dengan komoditas lain harga kapas tidak pernah mengalami fluktuatif harga. Harga kapas yang tidak pernah terjadi fluktuatif dikarenakan harga yang sudah dipatok pemerintah langsung sehingga tidak terjadi permainan harga ditingkat petani hingga tengkulak. Sebelum ditanami saja, petani sudah mengetahui harga jual karena telah ditetapkan sehingga petani sudah mengetahui keuntungan yang akaan mereka peroleh. Selain itu, ketertarikan pihak luar untuk berinvestasi di bidang pertanian kapas juga diharapkan dapat meningkatkan minat petani lokal untuk menanam dan memajukan pertanian kapas (www.suarapembaruan.com).
Berbagai upaya peningkatan produksi kapas telah dilakukan secara terprogram oleh pemerintah, mulai dari (i) program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR) tahun 1978 dengan dukungan fasilitasi pembangunan unit pengelohan (ginnery) di off-farm berkapasitas total 66 ribu ton dan fasilitas kredit KIK-KMKP di on-farm hingga Pakjan 1990. Kemudian (ii) diupayakan lagi melalui fasilitas APBN yang dikemas dalam proyek Pembangunan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) s.d tahun 1995 dan proyek Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) s.d 1999. Dilajutkan dengan (iii) swadaya petani yang dikemas dalam pola kemitraan antara petani dan perusahaan pengelola dengan merintis penggunaan benih bermutu secara waralaba, penggunaan teknologi transgenik asal USA dengan pro-kontranya diakhiri dan dimenangkan oleh pemerintah di PTUN Jakarta tahun 2003. Pola kemitraan ini terus didorong oleh pemerintah dan (iv) mulai tahun 2007 dikemas dalam Program Akselerasi Pengembangan Kapas. Kinerja Perkapasan Nasional sampai sebelum akselerasi (sebelum tahun 2007) belum cukup menggembirakan. Pertanaman kapas rata-rata tidak lebih dari 12,5 ribu ha/th dengan produksi sekitar 4,8 ribu ton (produktivitas 470 kg/ha), sehingga kontribusinya pada ITPT hanya 0,3 %. Dilihat dari kapasitas ginnery yang tersedia saat ini adalah 66 ribu ton, produiksi tersebut hanya mampu mengisi sekitar 7,3 % atau hanya 1-2 bulan operasi dalam setahun, selebihnya tidak termanfaatkan (http://mediaperkebunan.com).
Pemerintah sendiri akan memberikan subsidi dalam program pengembangan kapas tersebut. Kebutuhan benih akan ditanggung pemerintah agar petani menggunakan benih unggul, termasuk sarana produksi lainnya. Tahun ini pemerintah menargetkan total luas areal pengembangan kapas sekitar 20.000 ha dengan produksi sebanyak 30.000 ton. Jumlah tersebut memang masih jauh dari angka kebutuhan serat kapas dalam negeri yang mencapai 550.000 ton. Namun, kata Mangga, tetap bisa mengurangi ketergantungan terhadap produk kapas impor. Pengembang tanaman kapas berada di 55 kabupaten. Terluas berada di Sulawesi Selatan 7.500 ha, sisanya berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tanggara Timur. Di Sulawesi Selatan sendiri difokuskan pengembangan kapas hibrida, sedangkan di wilayah lain varietas unggul lokal Kanesia.
Rendahnya produktivitas kapas di dalam negeri disebabkan benih yang digunakan petani bermutu rendah. Karena itu pemerintah memberikan bantuan benih unggu. Pengalaman tahun 2008 dengan bantuan benih unggul kapas kepada petani, poduktivtas tanaman kapas mulai menunjukkan peningkatan di atas 1 ton/ha. Padahal, tahun-tahun sebelumnya produktivitasnya hanya 0,9 ton/ha. Sesuai asumsi yang direncanakan dengan produksi 2-3 ton/ha dan harga minimal Rp4.000/kg, maka pendapatan petani bisa Rp10 juta. Pengalaman tahun 2008 dengan bantuan benih unggul kapas kepada petani, poduktivtas tanaman kapas mulai menunjukkan peningkatan di atas 1 ton/ha. Padahal, tahun-tahun sebelumnya produktivitasnya hanya 0,9 ton/ha. Rendahnya produktivitas kapas di dalam negeri disebabkan benih yang digunakan petani bermutu rendah, karena itu pemerintah memberikan bantuan benih unggul.(http://agroindonesia.co.id)



























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan









Saran
















DAFTAR PUSTAKA

[Anonim].2010.http://organisasi.org/definisi-pengertian-pertanian-bentuk-hasil-
pertanian-petani-ilmu-geografi (10 Juni 2010)
[Anonim].2010.www.tempointeraktif.com/.../brk,20080205-116994,id.html –
(10Juni 2010)
[Anonim].2010. http://www.suarapembaruan.com (10Juni 2010)
[Anonim].2010.http://viskosaonline.wordpress.com/2006/01/07/ekspor-tekstil-indonesia- ditargetkan-naik-us-600-700-juta/ (10 Juni 2010)
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala). http://bbt.depperin.go.id . (5 Juni 2010).
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala).www.bni.co.id (5 Juni 2010).
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala). http://egismy.wordpress.com. (5 Juni 2010).
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala). http://www.tempointeraktif.com. (5 Juni 2010).


http://mediaperkebunan.com/index.php?option=com_content&task=view&id=9&Itemid=1

http://agroindonesia.co.id/2009/04/16/dongkrak-produksi-dengan-kapas-hibrida/

LAPORAN PRAKTIKUM POSTULAT KOCH (IPTD)

Laporan Praktikum
Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar
“KEHILANGAN HASIL”

Kelompok

1. Rita Yunita (A34080033)
2. Yudia Nurhaelena (A34080035)
3. Novra Ernaliana (A34080036)
4. Riska Dwi O (A34080040)



Dosen :
Tri Asmira Damayanti
Abjad Asih Nawangsih



Departemen Proteksi Tanaman
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Bogor
2010



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kendala yang sering dihadapi di lapang dalam peningkatan produksi suatu komoditas antara lain gangguan biotis yaitu gangguan oleh mikroorganisme yang disebut sebagai gangguan penyakit. Jenis penyakit yang disebabkan oleh virus antara lain penyakit belang pada kacang tanah, dan penyakit kerdil pada tanaman cabai. Sedangkan jenis penyakit yang disebabkan oleh cendawan antara lain bercak daun pada kacang tanah dan peyakit karat pada sorghum.
Kejadian penyakit merupakan jumlah atau proporsi tanaman yang sakit dibandingkan dengan tanaman yang sehat. Gejala dapat diukur dengan persentase perbandingan jumlah tanaman yang sakit dengan jumlah tanaman total dikali 100%. Sedangkan keparahan penyakit merupakan proporsi area atau jumlah jaringan tanaman yang sakit dan dapat diukur dari scoring persentase atau skala.
Dalam menghitung kejadian penyakit dan keparahan penyakit perlu dilakukan pengamatan terhadap gejala yang ditimbulkan oleh tanaman tersebut. Gejala yang ditimbulkan pada setiap tanaman berbeda-beda sesuai pathogen penyebabnya. Penyakit virus belang pada kacang tanah merupakan penyakit penting dan tersebar luas di daerah pusat pertanaman kacang tanah di Indonesia. Kehilangan basil akibat serangan penyakit virus belang berkisar 10 -60% tergantung dari jenis kacang tanah serta musim dan umur tanaman pada saat terinfeksi. Gejala yang sering dijumpai di lapang adalah gejala belang berwama hijau tua dikelilingi daerah yang lebih terang atau hijau kekuning-kuningan. Pada umumnya gejala awal pada daun muda terluhat adanya bintik- bintik klorotik yang selanjutnya berkembang menjadi belang-belang melingkar. Pada daun tua berwarna hijau kekuningan dengan belang-belang berwarna hijau tua. Pertembuhan tanaman yang terinfeksi menjadi terhambat sehingga tanaman menjadi pendek dibandingkan tanaman sehat terutama apabila terinfeksi pada saat tanaman muda. Penyimpangan anatomi juga terdapat pada lembaga biji tanaman sakit (www.warintek.bantulkab.go.id).
Bercak daun Cercospora spp. merupakan penyakit yang dominan pada pertanaman kacang tanah lahan kering maupun lahan sawah (www.balitkabi.litbang.deptan.go.id). Gejala pada bercak berbentuk bulat dibagian permukaan atas dan bawah daun. Gejala lanjut dapat menyebabkan daun berwarna cokelat keseluruhan dan mati.
Penyakit virus kuning pada cabai telah mengakibatkan kerugian di berbagai sentra produksi cabai di Indonesia. Epidemi penyakit ini telah menyebabkan kerugian bagi petani. Tanaman cabai yang terserang virus ini menunjukkan gejala umumnya berwarna mosaik kuning atau hijau muda mencolok. Kadang-kadang pucuk menumpuk keriting diikuti dengan bentuk helaian daun menyempit atau cekung, tanaman tumbuh tidak normal menjadi lebih kerdil dibandingkan dengan tanaman sehat, daun keriting (curl), daun kecil-kecil, tanaman kerdil, bunga rontok, tanaman tinggal ranting dan batang saja, kemudian mati. Infeksi virus pada awal pertumbuhan tanaman menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan tidak menghasilkan bunga dan buah. Gejala kuning dapat dilihat dari kejauhan (www.erlanardianarismansyah.wordpress.com).
Karat merupakan penyakit tanaman sorgum yang paling dominan, penyakit ini menyerang tanaman umur 2-3 bulan setelah tanam dan menyerang daun-daun tua dan yang baru berkembang setelah malai menjelang masak. Kerugian dapat mencapai 65 % (http://agricenter.jogjaprov.go.id). Gejala pada tanaman jagung yang terinfeksi penyakit karat adalah adanya pustule terutama pada daun. Pustule terbentuk pada kedua permukaan daun bagian atas dan bawah. pustul dengan warna coklat kemerahan tersebar pada permukaan daun dan berubah warna menjadi hitam kecoklatan setelah teliospora berkembang. Pada saat terjadi penularan berat, daun menjadi kering (http://balitsereal.litbang.deptan.go.id).

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini antara lain:
1. Mengamati gejala penyakit yang disebabkan oleh virus dan cendawan pada komoditi kacang tanah, cabai dan sorghum.
2. Menghitung persentase kejadian penyakit dan keparahan penyakit pada berbagai komoditas tersebut dengan gejala yang ada pada tanaman.

BAB II
BAHAN DAN METODE
I. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kalkulator, kamera, alat tulis, buku
II. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tanaman kacang, tanaman cabai dan tanaman sorgum
Metode
Amati tanaman kacang tanah, cabai, dan sorgum. Tentukan besar skala keparahan penyakit yang terjadi pada masing – masing tanaman berdasarkan data yang telah diberikan dan amati gejala dari tanaman kacang tanah, cabai dan sorgum.














BAB III
HASIL PENGAMATAN

Tabel 1.1 Pengamatan Perhitungan Serveritas Berbagai Penyakit

Komoditi Kacang Tanah Kacang Tanah Cabai Sorghum
Penyakit Bercak Cercospora Belang Virus Kerdil Virus Karat
Tanaman ke- Keparahan Penyakit Kejadian Penyakit Kejadian Penyakit Keparahan Penyakit
% Skor √ atau x √ atau x % Skor
Varietas Kancil 2 Kancil 2 - -
1 55 5 √ √ 5 1
2 40 4 √ x 35 4
3 30 4 √ √ 60 5
4 60 5 √ √ 8 2
5 40 4 √ √ 33 4
Varietas Tapir 2 Tapir 2 - -
6 85 6 √ √ 50 5
7 45 5 √ √ 2 1
8 20 3 √ √ 5 1
9 36 4 √ √ 10 2
10 50 5 √ √ 25 3
Varietas Tringgiling Tringgiling - -
11 63 5 √ √ 30 4
12 10 2 √ √ 5 1
13 65 5 √ √ 1 1
14 60 5 √ √ 60 5
15 62 5 √ √ 25 3
Varietas Kidang Kidang - -
16 65 5 √ √ 80 5
17 25 3 √ √ 10 2
18 40 4 √ √ 20 3
19 50 4 √ √ 5 2
20 25 3 √ √ 2 1
Varietas Pelanduk 2 Pelanduk 2 - -
21 5 1 √ √ 40 4
22 10 2 √ √ 20 3
23 25 3 √ √ 1 1
24 8 2 √ √ 40 4
25 25 3 √ √ 5 1
∑ n x v 97 25 24 68
n
N x V 150 25 25 150
N
Severitas Penyakit 64.67% 100% 96% 45.33%


Perhitungan :
Kacang Tanah : Bercak Cercospora
Severitas Penyakit = ∑ n x v X 100 %
N x V
= (1 x 1) + (3 x 2) + (5 x 3) + (6 x 4) + (9 x 5) + (1 x 6) 25 x 6
= 97 x 100 % = 62.67 %
150
Kacang Tanah : Virus Belang
Severitas Penyakit = n x 100 % = 25 x 100 % = 100 %
N 25
Cabai : Kerdil Virus
Severitas Penyakit = n x 100 % = 24 x 100 % = 96 %
N 25

Sorghum : Karat
Severitas Penyakit = ∑ n x v X 100 %
N x V
= (8 x 1) + (4 x 2) + (4 x 3) + (5 x 4) + (4 x 5) + (0 x 6) 25 x 6
= 68 x 100 % = 45.33 %
150

Foto sampel penyakit pada masing-masing komoditas.
• Komoditas Kacang Tanah

































• Komoditas Cabai











• Komoditas Sorghum







































BAB III
PEMBAHASAN

Dari hasil fieldtrip di leuwikopo, kita mengamati tiga komoditas tanaman, yaitu kacang tanah, cabai dan sorgum. Dari tiga komoditas tanaman, kita mengamati empat penyakit yang terdapat pada ketiga tanaman tersebut. Keempat penyakit tersebut adalah penyakit bercak daun pada kacang tanah, penyakit belang pada kacang tanah, penyakit kerdil pada cabai dan penyakit karat pada sorgum. Dari penyakit-penyakit tersebut, kita mengamati keparahan penyakit dan kejadian penyakit. Keparahan penyakit merupakan cara mengamati penyakit pada suatu tanaman yang disebabkan oleh bakteri, sedangkan kejadian penyakit merupakan cara mengamati penyakit pada suatu tanaman yang disebabkan oleh virus.
Dari lima varietas pada kacang tanah, yaitu kancil 2, tapir 2, tringgiling, kidang, dan pelanduk 2, hampir semua dari tanaman sample terserang oleh penyakit bercak daun. Hal ini dapat terlihat pada severitas dari penyakit bercak daun ini adalah 64,67 %. Penyakit bercak daun merupakan penyakit yang disebabkan oleh Cercospora personata dan Cercospora arachidicola. Gejala dari penyakit bercak daun ini adalah timbulnya bercak-bercak berukuran 1-5 mm berwarna coklat dan hitam pada daun dan batang. Penyakit bercak daun ini dapat menurunkan hasil sampai 60%. Penyakit selanjutnya yang menyerang kacang tanah antara penyakit belang yang disebabkan oleh peanut stripe virus. Penyakit belang ini menyerang semua tanaman kacang tanah pada areal tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari severitas pada penyakit belang dapat mencapai 100%. Penyakit belang ini merupakan penyakit utama pada tanaman kacang tanah. Penyakit ini sangat mudah menyebar karena dibantu oleh kutu daun yang mempunyai banyak tanaman inang. Gejala dari penyakit belang ini adalah gejala belang berwama hijau tua dikelilingi daerah yang lebih terang atau hijau kekuning-kuningan. Pada umumnya gejala awal pada daun muda terlihat adanya bintik- bintik klorotik yang selanjutnya berkembang menjadi belang-belang melingkar. Pada daun tua berwarna hijau kekuningan dengan belang-belang berwarna hijau tua. Pertembuhan tanaman yang terinfeksi menjadi terhambat sehingga tanaman menjadi pendek dibandingkan tanaman sehat terutama apabila terinfeksi pada saat tanaman muda. Penyimpangan anatomi juga terdapat pada lembaga biji tanaman sakit. Kehilangan hasil dari penyakit belang ini dapat mencapai 10 - 60% tergantung dari varietas tanaman kacang tanahnya.
Tanaman selanjutnya yang diamati adalah tanaman cabai. Pada tanaman cabai ini kita mengamati penyakit kerdil yang disebabkan oleh Gemini virus. Kerugian yang harus ditanggung petani akibat virus ini dapat mencapai milyaran rupiah. Virus yang menyebabkan penyakit ini mempunyai kisaran inang yang cukup luas. Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah daun yang menguning pucat atau cerah, daun keriting, daun kecil-kecil, tanaman menjadi kerdil dan bunganya rontok. Infeksi pada awal pertumbuhannya yaitu tanaman menjadi kerdil dan tidak menghasilkan bunga dan buah. Penyakit ini disebarkan oleh kutu kebu (Bemisia tabaci). Serangan penyakit ini dapat berakibat pada menurunnya hasil produksi bahkan bisa berakibat gagal panen. Dari hasil yang kita amati di suatu areal tanaman cabai, severitas penyakit kerdil ini cukup besar yaitu mencapai 96 %. Yang artinya hampir semua tanaman cabai di areal tersebut terkena penyakit kerdil.
Selanjutnya adalah tanaman sorgum yang terserang penyakit karat. Penyakit karat disebabkan oleh jamur Puccinia purpurea Cooke. Karat merupakan penyakit yang paling dominan menyerang sorgum. Penyakit ini akan menyerang tanaman sorgum saat tanaman berumur 2-3 bulan setelah tanam dan menyerang daun-daun tua yang baru berkembang setelah malai menjelang masak. Kerugian akibat penyakit ini dapat mencapai 65%.










BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan, penyakit belang pada kacang tanah hampir mencapai 100%. Pada tanaman cabai, severitas penyakit kerdil ini cukup besar yaitu mencapai 96%, artinya hampir semua tanaman cabai di areal tersebut terkena penyakit kerdil. Pada tanaman sorgum, severitas penyakit karat mencapai 65%. Serangan penyakit ini dapat berakibat pada menurunnya hasil produksi bahkan bisa berakibat gagal panen.
























DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala). (www.agricenter.jogjaprov.go.id). (9 Juni 2010).
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala). (www.balitkabi.litbang.deptan.go.id). (9 Juni 2010).
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala). (www.balitsereal.litbang.deptan.go.id). (9 Juni 2010).
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala (www.erlanardianarismansyah.wordpress.com). (9 Juni 2010).
[Anonim]. 2010. (terhubung berkala). (www.warintek.bantulkab.go.id). (9 Juni 2010).

Departemen Proteksi Tanaman IPB dan Universitas Viena Gelar Training Bersama

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Department of Population Ecology, Faculty of Life Science, University of Vienna, Austria menggelar "Training on Tropical Ecology and Rapid Biodiversity Assessment" yang dilangsungkan tanggal 25 Januari -13 Februari 2008. Departemen Proteksi Tanaman IPB sudah keempat kalinya mengadakan kegiatan kuliah lapang (field course) bekerja sama dengan University of Vienna, Austria. "Tujuan khusus kegiatan ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa Indonesia dan Austria mendapatkan pelatihan tentang fauna yang ada di Jawa Barat yaitu di Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang merupakan representasi dari fauna yang ada di ekositem tropis, " ungkap Sekretaris Departemen. Proteksi Tanaman Faperta, IPB Dr. Swastiko Priyambodo dalam rilisnya pada Pariwara.

Training yang dibuka Kepala Kantor Hubungan Internasional IPB, Dr. Ir. Ma'mun Sarma ini diikuti 23 peserta yang terdiri dari: 11 mahasiswa IPB dan 12 mahasiswa University of Vienna. Peserta IPB berasal dari tiga departemen antara lain: Departemen Proteksi Tanaman (6), Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (4), dan Departemen Biologi (1). Peserta pelatihan juga dilatih menggunakan penduga keanekaragaman secara cepat melalui beberapa taksa (kupu-kupu, capung, dan burung.

Menurut Swastiko, kegiatan dalam training tersebut meliputi berbagai aktivitas. Pertama, kuliah ekologis tropis di awal kegiatan dan analisis keragaman hayati dengan penduga statistik berdasarkan hasil survei lapangan yang disampaikan oleh Dr. Christian Schulze. Kedua, survei lapangan dengan bekal pengetahuan yang telah disampaikan saat kuliah di kelas. Peserta belajar melakukan survei dengan metode yang telah ditentukan berdasarkan tiga taksa, yaitu: Kupu-kupu, capung, dan burung. "Selanjutnya pengolahan data dan presentasi," imbuh Swastiko.

Pelatihan seperti ini sangat berguna bagi setiap peserta dan juga penyelenggara -Departemen Proteksi Tanaman- karena proses belajar yang terjadi, tidak hanya mengenai ekologi tropis dan penghitungan keragaman hayati. Namun juga proses belajar di antara mahasiswa dan dosen dengan latar belakang budaya berbeda sehingga memperkaya hal-hal yang bisa dipelajari. Pelatihan seperti ini akan terus dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. (*/ris)


sumber : http://www.ipb.ac.id/id/?b=602